Cerita Pendek: "Hai", sebuah pertemuan
Postingan pertamaku di blog ini, jadi enjoy while reading it!! And give me some feedback down below!
Oh, ya FYI ini cerpen pernah kuikutkan lomba, but obiously enggak menang, hehe
Hai
Sumber: unsplash.com
Tanganku cekatan menyalakan laptop,
menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda. Kemudian mengecek beberapa pesan
dari ponsel genggam, isinya hanya masalah pekerjaan seperti biasa.
Sambil mengistirahatkan mata, aku
memandang sekeliling. Mataku menatap sosok wanita duduk paling ujung. Rambut
hitam panjangnya tergerai, beberapa anak rambutnya diterbangkan oleh angin.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku
menatapnya. Matanya cokelat terang sangat kontras dengan rambut hitamnya. Dia
juga memakai syal warna kuning. Aku bertanya-tanya apa tidak panas memakainya
saat siang hari. Saking asyiknya menatap dia, aku tersentak ketika ada
pengumuman bahwa kereta api jurusan Bandung akan tiba di jalur satu.
Setelah mematikan laptop dan
memasukannya ke dalam tas, aku melongok ke arah ujung. Wanita bersyal kuning
sudah tidak ada. Aku bergegas masuk gerbong bisnis begitu kereta api sudah
tiba. Mengangkat tas ke bagasi kabin, lalu aku pergi ke toilet sekedar cuci
muka, merasakan dinginnya air memercik wajah.
Dan lihatlah di samping tempat
dudukku, wanita bersyal kuning sedang duduk manis. Membaca buku yang tidak aku
sempat kubaca judulnya, karena tertutup tangannya. Aku berdeham lalu duduk
sebelah jendela. Hatiku bergeleyar tak karuan. Jauh dalam hatiku aku ingin
menyapanya, menanyakan siapa namanya, buku apa yang sedang dia baca. Tapi,
mulutku tetap diam, seolah-olah ada sesuatu yang menyumbat tenggorokanku.
Kuambil ponsel dari saku kemeja
untuk sekedar mengalihkan perhatian, tetap saja pikiranku masih tertuju ke
wanita bersyal kuning. Hatiku mengerang frustasi, akhirnya aku mencoba melihat
pemandangan hijau sawah maupun pegunungan yang di telusuri oleh kereta ini. Dan
memang ampuh, untuk sejenak pikiranku tenang karena warna hijau mereka.
Beda halnya ketika sudah sampai
kota, aku hanya bisa melihat pemukiman kumuh, jalanan padat oleh kendaraan
pribadi maupun umum. Aku sangat gusar, kucoba meliriknya dan dia masih saja
setia dengan bukunya.
Mulutku hampir menyapanya, tapi dia
terburu beranjak pergi. Mungkin saja ke toilet, pikirku. Ternyata benar,
beberapa saat kemudian dia duduk kembali. Ku coba lagi menyapanya, lagi-lagi
mulutku terkunci rapat. Sampai aku turun di stasiun Bandung aku tidak berhasil
mengucapkan sepatah katapun. Meruntuki diri sendiri betapa bodoh dan
pengecutnya aku.
***
Kota Bandung memang sejuk, berbeda
sekali dengan Kota Semarang yang panas, tetapi sayangnya aku harus kembali ke
Semarang karena pekerjaanku disini telah selesai. Aku berjanji tidak akan
melupakan kota ini. Apalagi perjalananku ditemani wanita bersyal kuning,
membayangkan dirinya saja aku tersenyum.
Kembali lagi ke stasiun Bandung,
menunggu kereta datang. Mataku memandang ujung bangku, berharap wanita bersyal
kuning ada disana. Aku memang mengaguminya, walaupun tidak pernah tau namanya,
tetapi sukses mengelitiki hatiku.
Aku geleng-geleng kepala.
Mengeyahkan bayangan imajinasiku yang berlebihan. Jarang sekali orang asing
bertemu dengan orang asing yang sama. Dan menurutku bahkan mustahil. Aku segera
naik kereta api begitu tiba.
Jantungku berdebar-debar, ada
perasaan tidak asing dalam diriku. Aku menelusuri lorong kereta menemukan nomer
tempat dudukku. Dan disampingnya ternyata sudah diisi oleh wanita. Aku
memperhatikannya.
Wanita itu seperti wanita yang duduk
di bangku ujung. Warna mata cokelat terang dan rambut hitam tergerai. Dan syal
kuning melekat di lehernya. Apa aku berkhayal?
Terakhir aku cek, mataku baik-baik
saja. Aku memandangnya lebih jeli lagi. Berdiri diam di lorong antar bangku
kereta seperti orang bodoh hanya untuk memandangnya. Tampaknya memang benar itu
wanita bersyal kuning yang telah menemaniku dalam perjalanan ke Bandung. Dan
aku yakin itu.
Kali ini aku bukan lagi orang bodoh
yang melewatkan kesempatan kedua. Aku membuang rasa pengecutku, kuberanikan
menghampirinya. Aku memasang senyum terbaiku, “hai.”
Comments
Post a Comment